cintaku cintamu cinta kita bersama
“Jadi bener lo
jadian sama Pandu?”, suara Gita benar-benar membuat semua orang di angkot
menoleh kepada kami. Kami hanya bisa cengar-cengir melihat semua mata tertuju
padaku dan Gita. Dasar Gita, nggak pernah bisa ngomong pelan.
“Iye, pelan dikit dong, malu nih sama
penumpang lain”, tukasku membuat wajah Gita berlipat. Aku dan Gita bersahabat
sejak lama, tepatnya saat dia pindah ke sekolahku, saat itu kami kelas 5 SD dan
sekarang kami sama-sama kelas 2 SMA dan kami selalu satu sekolah. Meski tak
pernah satu kelas sejak lulus dari SD, tapi Gita adalah sahabat yang terbaik
yang selalu menemaniku. Dia adalah pendengar yang baik, tak pernah mengeluh,
dan yang paling aku suka adalah Gita yang selalu bisa membuatku tertawa meski
dalam kondisi tertekan sekalipun. Dan Pandu adalah teman sekelas Gita, orang
yang saat ini membuat aku selalu merasa nyaman ada di sampingnya. Tak pernah
terpikirkan olehku bisa berpacaran dengan Pandu, mungkin Gita lah yang berjasa
dalam hubungan kami. Pandu adalah anak dengan sejumlah talenta. Prestasinya
yang sering membanggakan sekolah membuatnya digilai banyak cewek. Yang aku
heran, berdasarkan cerita dari si Gita, Pandu bukan tipe orang yang mudah jatuh
cinta. Tapi saat bertemu denganku, matanya membuatku merasa di awan,
berbinar-binar, agak salting, dan bicaranya jadi tak lancar. Berdasarkan sumber
dari si Gita lagi, Pandu paling bisa berbicara di depan umum, apalagi saat
mengejek, jago banget dia, begitu kira-kira kata Gita.
“Kok bisa sih dia nembak lo?”, kalimat itu
terus dilontarkan Gita. Seperti orang yang keheranan setengah kebingungan.
“Tauk deh, tanya aja sama Pandu kalo gak
percaya”, kataku sambil menjulurkan lidah.
“Setahu gue, dia tuh gak pernah suka ama cewek
centil apalagi yang suka dandan kayak lo gitu”.
“Hati orang siapa yang tahu sih, Git.
Jangan-jangan lo cemburu ya Ngaku deh, kalo lo ngaku, gue bakal mundur tapi
syaratnya lo harus nraktir gue makan selama sebulan”
“Sebulan? Gile aje, sorry ya, gue gak bakalan
suka sama cowok gila kayak dia. Dengerin ya, dia itu suka ngupil, kayaknya agak
h*mo juga, banyak tuh anak cheers yang ditolak dengan alasan gak logis, karena
mereka suka nari”
“Hahaha…bukan urusan gue deh, yang penting orang
satu sekolah bakal ngiri ngeliat gue jalan sama dia”
“Bentar-bentar,
jadi lo cuman manfaatin popularitas Pandu? Jangan, Din, kasihan Pandu, baru
kali ini kayaknya dia jatuh cinta”. Ada benarnya kata Gita. Tapi nggak juga
ding, aku mencintai Pandu sepenuh hati kok. Jantungku berdebardebar saat
bertemu dengannya. Tapi agaknya popularitas lah yang lebih penting dari Pandu. Ah,
bodo amat, yang jelas Pandu kini bertekuk lutut padaku.
***
Kulangkahkan
kaki kecilku ke rumah Gita, sengaja aku pamit ke rumah Gita sama mama padahal
sebenarnya ini adalah kencan pertamaku dengan Pandu. Mama tak pernah
mengizinkan aku pacaran, kata mama besok aja kalo udah gede. Nunggu gede
apalagi coba, badanku udah bongsor gini masih aja dibilang kurang gede.
Derum
sepeda motor datang. Tidak salah lagi itu sepeda motor Pandu. Aku segera keluar
rumah ditemani Gita.
“Git, gue pinjem temen lo dulu ya!” kata Pandu setengah bercanda.
“Git, gue pinjem temen lo dulu ya!” kata Pandu setengah bercanda.
“Jagain
tuh temen gue, awas ya sampai kenapa-napa, gue samperin nyokap bokap lo”, balas
Gita, kali ini dengan nada agak kesal.
“Makanya
cepet-cepet punya pacar, biar gak jamuran di rumah, kayaknya tujuh tanda
penuaan dini udah muncul tuh gara-gara keasyikan pacaran sama laptop terus,
radiasi laptop merusak kecantikan tuh”, detail Pandu.
“Hedeh,
udah sana pergi-pergi…Hush..hush..”
“Nah
loh, galak banget sama cowok, gimana mau dapet pacar coba”
“Kalo
gak pergi aku lempar sandal nih”, kali ini Gita mengangkat sandalnya. Motor pun
melaju, Pandu melemparkan senyuman jail ke Gita. Tiba-tiba aku merasa hubungan
mereka dekat sekali.
“Sejauh
apa sih hubungan kamu sama Gita?”, tanyaku suatu hari pada Pandu.
“Biasa
aja, kayak kamu sama Gita”
“Deket
banget berarti”, ucapku sambil memincingkan mata
“Gak
juga lah, ngapain sih tanya-tanya gak penting”
“Aku
takut kamu suka sama Gita”
“Kamu
cemburu, percaya deh sama aku, aku gak bakalan suka sama Gita, Gita udah aku
anggep kayak temen cowokku. She’s not a girl, you know!”
Agak lega juga mendengar ucapan Pandu.
Sepertinya asumsiku hanya sebuah bayang-bayang takut kehilangan Pandu.
Sepertinya tak mungkin juga sahabatku berkhianat padaku. Gita yang kukenal tak
mungkin tega kepada sahabatnya sendiri dan Pandu jelas-jelas milikku, tak akan
mungkin mereka jadi satu.
Akan tetapi, suatu siang saat aku tak sengaja
membuka halaman demi halaman buku harian Gita.
Dear Diary
Aku senang sekali bisa sekelas sama dia. Dia adalah orang yang pertama kali membuat otakku tak bisa mencerna dengan baik, membuat nafasku tersengal, dan membuat aku tak pernah bisa berhenti memikirkannya.
Aku senang sekali bisa sekelas sama dia. Dia adalah orang yang pertama kali membuat otakku tak bisa mencerna dengan baik, membuat nafasku tersengal, dan membuat aku tak pernah bisa berhenti memikirkannya.
Halaman
demi halaman kubalik, semua berisi dia dia dan dia. Akhirnya kutemukan satu
halaman yang menjadi petunjuk siapa sebenarnya “dia” itu. Dia yang selalu
membuat Gita ceria, dia yang dalam tulisan Gita menjadi orang yang terpenting
dalam hidupnya setelah kedua orang tuanya, dia yang membuat Gita tersenyum
senang ketika bisa bercanda bersama.
Dear Diary
Hatiku hancur, aku bukan sahabat yang baik. Pandu menyukainya, menyukai Diana sahabatku. Aku menyesal telah mengenalkan Diana kepada Pandu. Hatiku tercabik. Dan kini aku harus menangis kemudian menyeka air mata sendirian. Aku tak mau Diana tahu perasaanku, aku tak ingin Diana benci padaku. Aku sayang sahabatku tapi aku tak bisa memungkiri bahwa aku juga mencintai Pandu. Mungkin cinta tak harus diungkapkan dan tak harus memiliki. Aku akan mengalah, meski aku tak mau dibilang kalah. Setidaknya aku menang telak sebagai seorang pembohong. Pantas jadi artis sepertinya. Hahaha…
Hatiku hancur, aku bukan sahabat yang baik. Pandu menyukainya, menyukai Diana sahabatku. Aku menyesal telah mengenalkan Diana kepada Pandu. Hatiku tercabik. Dan kini aku harus menangis kemudian menyeka air mata sendirian. Aku tak mau Diana tahu perasaanku, aku tak ingin Diana benci padaku. Aku sayang sahabatku tapi aku tak bisa memungkiri bahwa aku juga mencintai Pandu. Mungkin cinta tak harus diungkapkan dan tak harus memiliki. Aku akan mengalah, meski aku tak mau dibilang kalah. Setidaknya aku menang telak sebagai seorang pembohong. Pantas jadi artis sepertinya. Hahaha…
Dalam
suasana sedih begitu, masih saja Gita bisa menertawakan dirinya sendiri. Lembaran itu basah oleh air mata sepertinya, sebagian tintanya luntur. Semua
asumsiku ternyata benar. Kepribadianku yang lain tiba-tiba muncul. Maaf Git,
aku nggak bisa melepas Pandu. Mungkin kamu sahabatnya, tapi aku lah yang kini
berada disampingnya. Tak akan aku biarkan kamu merebut perhatian Pandu. Mulai
saat itu juga aku mulai menjauh.
“Din,
kemana aja sih, gue cariin gak pernah ketemu, udah kayak Nazarudin aja lo, suka
ngilang”, kalimat Gita mengagetkanku yang tengah duduk sendiri di pojok ruangan
perpustakaan.
“Akhir-akhir ini jadi pingin sendiri, sorry
Git”, aku meninggalkan Gita yang baru saja akan duduk menemaniku. Aku nggak
bisa menghindar terus dari Gita. Aku kangen sama celotehan Gita yang nggak penting,
kangen caranya menghiburku disaat papa mama sibuk bertengkar, kangen dengan
semua-muanya. Setelah aku pikir-pikir aku masih 16 tahun. Bila Tuhan masih
memberiku umur panjang, setidaknya akan banyak pengganti Pandu yang lebih baik.
Sahabatku lebih penting dari pacarku. Pandu hanyalah orang asing yang memasuki
kehidupan kami, sepertinya akan segera merusak persahabatan jika aku tetap
bersikukuh ingin Gita menjauh dari Pandu. Sampai pada suatu saat aku
menjelaskan kepada Gita bahwa aku telah membaca semua bagian buku hariannya.
Menangislah Gita di hadapanku. Aku tak tahu harus berbuat apa. Untuk pertama
kalinya aku melihat Gita menangis.
Sepertinya dia tulus mencintai Pandu. “Git, bulan depan aku pindah ke Jogja. Nenek minta ditemeninin soalnya Om
Feri ditugasin ke Kuala Lumpur sama kantornya”, kataku sambil memegang pundak
Gita.
“Jangan-jangan
kamu pindah gara-gara masalah ini??”
“Ge-er.
Gue itu bukan tipe orang yang lari dari masalah. Dan lo tau sendiri kan kalo
gue gak bener-bener sayang sama Pandu. So, ambil aja noh!”. Gita langsung
memelukku erat dan aku membalas pelukannya. Kami berpelukan sangat erat seperti tidak
ingin melepaskan satu sama lain.
Comments
Post a Comment